Semua Karena Eksistensi Ahmad

Setiap perjalanan akan membawa cerita ketika pulang. Bulan Romadhon, aku melakukan sebuah perjalanan menuju satu tempat sederhana, untuk membayar rasa penasaranku yang sempat membuatku berontak saat remaja.

Jogja masih dengan suasana hujannya yang deras waktu itu. Hampir setiap sore hujan tidak pernah absen disana. Sedangkan sore itu aku mengemasi beberapa pakaian yang akan aku bawa pulang (sebut saja ini mudik) sebelum bulan Romadhon tiba. Beberapa potong baju yang sekiranya bisa dikenakan saat dirumah – ya jujur saja, pakaianku saat dirumah dan di Jogja sebagai seorang mahasiswa berbeda. Dirumah aku berusaha menuntut diri lebih santun – aku masukkan kedalam ransel kecil. Mengemasi barang membuat pikiranku melamun dan menghadirkan rasa geram akan suasana yang membosankan belakangan ini (Baca : Depresi belum mendapat pekerjaan setelah lulus). Aku ingin melakukan sesuatu diluar pekerjaan dunia luar yang mulai gila ini. pikiranku berlari ke sebuah bangunan yang memiliki reputasi tidak menyenangkan dikalangan orang awam. Bangunan Pesantren.

Kayaknya enak juga bulan puasa lari ke pesantren. Apa rasanya, ya? Aku penasaran bagaimana rasanya berinteraksi dengan anak pesantren.

Ransel kecil itu sudah mulai penuh dan tidak muat diisi baju. Aku menutupnya dengan sedikit paksa. Tubuh yang mulai kedinginan diterpa angin lebat dari jendela kamar kosku lunglai, ingin merebahkan diri diatas kasur segera. Ransel itu aku letakkan disudut kamar dengan satu tas lainnya dan kardus oleh-oleh.

Aku merebahkan tubuh diatas kasur dengan memegang ponsel. Rasa penasaranku kian janggal. Aku memutuskan untuk searching blog dari google menggunakan kata kunci ‘ Pengalaman Puasa Romadhon di Pondok’. Beberapa diantaranya menuliskan kesenangan,  kenangan, keramaian, jadwal mengaji, berjama’ah dll.

Detik itu juga aku mengirim pesan lewat WhatsApp ke Ummik

Bulan puasa besok aku pingin di pondok. Gimana ?

Iya, nggak apa-apa. Kalau niatnya mondok, berangkatnya biasanya 10 hari sebelum 1 Ramadhan. Ngaji biasanya sudah dimulai, seperti ngaji mbah dulu.

Aku sempat mengalami rasa ‘deg’ saat membaca kalimat seminggu sebelum puasa aku harus berangkat. Keraguan mulai menyergap. Duh, masak sebelum puasa sudah dipondok? Mau ngapain disana?. Pikiranku saat meminta izin itu mmbayangkan aku akan tinggal dipondok hanya dalam kurun waktu 15 hari dan tidak lebih. Karena sepengetahuanku memang dalam waktu itu pondok ala romadhon selesai pada umumnya. Aku menghilang dan tidak membalas pesan dari Ummik. Kebimbangan mulai muncul.

Rasanya malu ketika orang bertanya tentang hukum agama kita, tapi kita tidak tahu jawabannya. Rasanya menyakitkan saat tidak bisa membenarkan keyakinan kita melawan orang lain karena kamu tidak tahu dasar ilmunya. Aku ingin tahu tentang semua jawaban itu.

Malam itu aku dilanda rasa yang tidak konsisten. Terkadang niat itu bulat, terkadang bolong lagi seperti donat.

Paginya aku menggendong ransel dan menenteng beberapa oleh-oleh untuk dibawa pulang. Masku sudah menunggu didepan kos untuk mengantar ke stasiun Lempuyangan. Semangat untuk pulang selalu menggebu-nggebu. Seperti ada banyak sesuatu yang menunggu disana. Walau sebenarnya tidak ada.

Kereta berjalan dengan suara mesinnya yang kasar. Aku duduk dengan memasang headset,  mendengarkan lagu Swift dan Raisa. Suasana kereta dan backsound lagu dikuping selalu berhasil membuatku mengantuk.
Setengah perjalanan dikereta, aku bangun dan merasa lapar. Apesnya aku tidak membawa satu bungkus roti maupun aqua – berangkat dari kos sudah pelayon keteteran, pas naik kereta baru mau duduk kereta sudah jalan – tenggorokan rasanya kering. Aku menyapu pandangan dari gerbong ujung depan ke ujung belakang, mencari mas-mas penjual makanan. Tapi tidak ada. Mas yang duduk disebelah saya tiba-tiba menurunkan carrier besarnya dan membongkar untuk mengambil beberapa makanan yang sepertinya akan dibawa muncak gunung.
“Eh mbaknya dah bangun. Permen nih mbak” Sambil nyodorin bungkus permen dan senyum                 ala anak gunung.

“eh? Iya terimakasih” aku mengambil sebungkus permen dari plastik ditangannya

“ah biasa aja mbak, makan-makan aja nggak usah malu”

“Masnya mau naik gunung? Kemana?”

“Oh, iya mbak. Udah dari kemaren-kemaren jalan naik turun gunung. Saya dari jakarta ini                     mau ke semeru”

Aku hanya balas mengangguk sambil senyum tipis menanggapinya. Sedikit ngantuk dan masih males ngomong. Tapi mas itu bercerita sendiri panjang lebar tentang senangnya naik gunung. Aku hanya mendengarnya geli dan agak ngantuk. Tapi ternyata yang membawa tas carrier bukan hanya mas tersebut, kursi depan yang saya duduki itu juga ramai membawa rekannya dan membawa tas carrier. Aku melihat laki-laki berteman itu bergantian ke kamar mandi dengan menggunakan sarung dan kaos pendek. Ternyata mereka sholat dalam kereta.

Tiba-tiba ingatanku kembali ke pesantren.

Setibanya dirumah aku masuk dengan rasa legah dan lelah bercampuran. Dihari itu juga aku dan Ummik membahas tentang rencana yang aku buat tiba-tiba itu. hingga sampai akhirnya diputuskan untuk berangkat ke pondok H-7 Ramadhan di Kediri. Negoisasi itu tentunya tidak gampang. Perlu alasan-alasan yang benar dan berbukti.

Hari itu aku berangkat menuju pondok di Kediri – yang sampai di kediri pun aku tidak tahu aku sebenarnya akan mondok di pondok apa, dan daerah mana – sebelum masuk di daerah Pondok, kita mampir mencari makan terdekat. Aku memutuskan bertanya apa nama pondok yang akan aku tempati.

“ini pondok namanya apa sih, Um?”
“hmm, opo to jenenge, kok lali. Pondoknya si anak om yg juga mondok romadhon wingi iku, lho.”
“Lhoh?! Eyalah ...” tiba-tiba pikiranku mengarah ke seseorang yang juga mondok disana. 
Dulu dia yang menjaga sepupuhku itu saat mondok, namanya sebut saja Ahmad.

Aku langsung menghubungi dia, dan mencoba tanya bagaimana aturan pondok saat romadhon. Terutama boleh membawa handphone atau tidak. Yang ternyata sepertinya tidak boleh.

Nanti hp nya dititipno aku wae. Insyaallah aman

Gitu yo? Oke lihat ntar lah. Aku yo sebenere males gowo hape

Oke. Butuh dianterin masuk ke pondok putri, nggak? Nek iya ntar tak anter

Iya, tolong anterin, ya. hehe. Ntar kalau udah sampek tak kabari

Oke.

Sesampainya dipondok, cuaca mendung dan gelap gerimis kecil. Aku menemui Ahmad didepan masjid, dan meminta tolong untuk mengantar masuk. Ngomong-ngomong soal Ahmad, saat itu juga aku gemas melihat tingkahnya. Aku sudah tidak bertemu dia sekitar hampir 8 tahun. Hanya saja kita masih tersambung lewat sosmed. Dia berubah tidak seperti dulu. Lebih lugu (atau pura-pura lugu, entah), lebih grogi, pendiam, dan tunduk. Aku hanya menahan tawa dan menahan tanganku sendiri untuk tidak menepuk bahunya karena tingkah aneh itu. Menggelikan.

 “Hei!” sapaku dengan senyum senang selayaknya bertemu teman yang sangat lama.

Ahmad hanya memasang wajah sedikit tegang dan senyum paksa ketakutan. Senyumku seketika ingin sirna melihat tingkahnya yang seperti itu. kenapa manusia ini tingkahnya jadi aneh, gini?. Untungnya aku masih bisa menahan sikapku itu, karena melihat di depan banyak santri, dan aku sadar lokasi. Kalau nggak, sumpah aku nggak tahu mau ngoyak-ngoyak si Ahmad kayak gimana.

Aku melihatnya bingung, sedangkan aku ingin cepat masuk sembari mengangkat sebelah tangan kananku diatas kepala  karena gerimis.

“Eh, piye? Ndek mana kantor daftar pondok putri? Mintak tolong anterin, yo?”

Aku sedikit lupa tanggapan apa yang dikatakan. Aku langsung masuk mobil dan memanggil Umikku untuk ikut masuk. Ahmad membawa aku dan Ummik ke sebuah ruangan yang aku juga bingung itu ruangan apa. Katanya itu kantor umum. Saat itu katanya jamaah sedang berlangsung, jadi nunggu diruangan itu dulu, dan lagi-lagi aku melihat tingkahnya yang membuatku gemas. Seriously aku cuma bisa nahan ketawa selama Ahmad ngobrol dengan Umikku diruang itu untuk menanyakan hal seputar pondok. Pandanganku tidak luput sedikitpun dari kelakuannya.

Akhirnya Umikku memutuskan ingin cepat masuk  ke pondok putri dan segera melakukan pendaftaran. Karena hari sudah sore dan cuaca tidak mendukung, takut terlalu malam saat perjalanan pulang. Ahmad pun bergegas dan mengantar ke ruang panggil untuk menyelesaikan pendaftaran dan tetek bengeknya. Diruang itu juga aku masih melihatnya dengan menahan tawa. Dibeberapa percakapan dia mengluarkan suara tawanya yang serak seperti Cakra khan.

Setelah itu semua berakhir, Ummik sudah mempercayai Ahmad untuk mengurus keperluanku. Membeli kitab dan juga termasuk saat itu juga handphoneku mau dititipkan ke Ahmad, takut nanti kalau ada panggilan kerja, Ahmad yang mengangkat telpon dan bisa memberi tahu aku. Tapi aku tolak rencana itu. Sudahlah, intinya Ahmad langsung jadi tangan kanan Ummik.

Aku dan Ummik langsung balik ke mobil untuk mengambil barang-barang. Saat kemas-kemas didalam mobil, hujan turun deras dengan seenaknya. Aku langsung lemas. ‘Duh kok hujan gini’ cukup lama aku dimobil menunggu hujan reda. Ahmad mengirim pesan WhatsApp

Nunggu udane terang nopo nunggu payung tambahan? (Nunggu hujannya reda, atau nunggu payung tambahan?)

Aku tersenyum geli melihat pesannya. Laki-laki ini terlalu cerdas untuk bersopan santun diwaktu itu. aku meminta tolong Ahmad membawakan payung lagi ke mobil dan ikut membantu membawakan barang sampai diruang panggil. Aku langsung membawa masuk barangku dan masuk ke kamar diantar oleh mbak pengurus. Kemudian aku sudah tidak tahu apa yang dibicarakan Ahmad dan Ummik setelah aku masuk pondok.

Dipondok aku langsung diserbu pertanyaan oleh mbak Nurul, pengurus yang mengatarkan                   aku.

“Lhoh, mbak. Mbaknya apanya pak Ahmad’?”

Perasaanku mendadak konyol dan sedikit humor mendengar pertanyaan itu, juga kata ‘pak’ yang disebut dalam nama si Ahmad. Aku mencoba menahan tawa dan hanya menyunggingkan senyum kecil untuk menjawab.

“eh? Nggak apa-apanya mbak. ng .. Cuma temen. Kebetulan aja tadi pas mau kesini mintak tolong sama dia buat nganterin masuk” Tahanku sambil berusaha menjawab jujur. Tapi kaypoh itu kian lanjut.

“oh, temen. Temen sekolah, ya? kok bisa kenal?”
Mampus lau Vit diserbu wartawan dadakan. Lagian seterkenal ini si Ahmad dipondok. Mau dijawab apa coba. Bohong dosa, jujur bingung. Lha aku juga bingung mbak, kenapa bisa kenal sama si Ahmad.

“Bukan. Bukan temen sekolah. Beda kok mbak. (Beh, nggak terima aku disamakan satu sekolah katanya sama si Ahmad. Tua amat) Cuma kenal aja dulu sama Mas Ahmad” Antara sadar dan tidak, kenapa harus ada kata mas didalam nama Ahmad. Duh. Nahan mual panggil nama Ahmad pakek embel-embel Mas.

“Loh? Pakek Mas kalau manggil, ciye ciye.. mbaknya”
Kan salah ngomong. Mampus mampus!

“hehee.. mbak ini ada-ada aja. Jangan gitu, ah. Cuma temen kok. Eh tapi kok mbak kenal sama si Ahmad? Hayooo ..” aku mencoba mengalihkan topik, dan memutar balikkan keadaan menjadi mbaknya yang aku jadikan bahan bullyan.

“ya kenal mbak, orang biasanya rapat ketemu sama Pak Ahmad terus. Eh eh lagian ya, mbak, Pak Ahmad tuh kalau lagi ada rapat gitu susah banget kalau disuruh ngomong. Suaranya serak-serak gemetar gitu, rindih banget. Lha tadi pas ngomong sama mbaknya aja kok lancar gitu, ya. aku jadi bingung. Pak Ahmad sampek bisa ketawa gitu. Hmmm ciyeee”
Alah, serangan Bully balik.

Aku menghabiskan waktu pertamaku dengan Mbak Nurul dikamar hanya berdua. Karena memang dipondok semua santri banyak yang pulang saat ramadhan. Tidak wajib untuk tinggal dipondok.

Disuatu sore saat aku mulai mengaji, Mbak Nurul menitipkan aku ke salah satu Mbak kamar sebelah, namanya Mbak Hidayah. Aku juga sudah sempat ngobrol dengan mbak Hidayah sebelumnya, dan kita melangkahkan kaki keluar, duduk dan ngaji kitab Shohih Muslim. Selesai mengaji, ada lagi mbak kamar belakang menyapa.

“Sinten iku mbak Hid? Anak baru, ya?”

Aku tersenyum dengan mbak yang menyapa tersebut, dan berjalan disamping mbak Hidayah.  Dengan entengnya mbak Hidayah ngomong kalau aku adalah ‘sesuatu’nya si Ahmad.

Garwone pak Ahmad niki” sambil melihat ke arahku dan menyungging senyum lebar.

“walaah.. garwone pak Ahmad, tho?

Hah? Mbak ini pun juga kenal sama si Ahmad? Gimana ceritanya dia bisa se eksis ini dipondok. Ya ampun, Mad Mad.

Karna aku sudah lelah mendengar di ciye-ciye. Akhirnya aku memutuskan menjawab pertanyaan tersebut dengan IYA.

“hahaa.. Iya mbak” aku menyeringai ke mbak tersebut, dan meringis kecut ke arah mbak Hidayah. “Mbak Hidayah nih, dasar” cubitku pada lengan mbak Hidayah dengan polesan senyum bercanda.

Hari berlalu dan berlalu, seminggu sudah aku disini. Aku mulai merasa nyaman. Meskipun kadang tiba-tiba kesedihan melanda karena sendirian dikamar, dan hanya membaca novel yang tergeletak dikardus. Tapi aku juga harus bertrimakasih banyak dengan si Ahmad, berkat eksistensinya dikalangan pondok putri akhirnya mungkin mbak disekeliligku mengenalku dengan cara yang berbeda dan semua diawali atas nama si Ahmad. Seminggu aku merasa bak artis. Dipanggil sana sini, dan yang membuatku sedih ketika mereka memanggil dan aku tidak tahu nama mereka. Namun lama-lama aku mengenal mereka meskipun tidak semua diawali jabat tangan resmi, dan hanya tahu nama mereka karena mbak sekeliling menyebut namanya. Akhirnya aku bisa membalas panggilan mereka. Haha. Senangnya.

Seminggu, dua minggu, tiga minggu, empat minggu.. berlalu. Aku mempunyai banyak teman-teman baik yang menyenangkan. Teman yang tidak pernah ada dalam benakku sebelumnya. Mengajariku banyak tentang dunia kecil yang aku tidak pernah tahu. Bertukar bahasa, cerita, tawa dan rasa.

Setelah itu semua, Ahmad membuatku bergidik. Dia menolongku. Aku mungkin tetap menjadi orang asing tanpa namanya yang mengantarku masuk. Kepintaran dan jasamu dikenal banyak perempuan. Aku jadi takut sendiri. Bahkan aku mengerti banyak mbak-mbak yang ‘men-Ciye-kan’ aku tidak lain karena ingin di ‘Ciye-ciye-kan’ balik dengan kamu.

Mad.. Mad. Kurang apa kalau sudah kayak gini. Tinggal pilih pun jadi. Tidak perlu susah cari perempuan. Lha kok malah kena aku sendiri, Mad.

Sekian...


0 comments:

Post a Comment

Komentar