Setiap
perjalanan akan membawa cerita ketika pulang. Bulan Romadhon, aku melakukan
sebuah perjalanan menuju satu tempat sederhana, untuk membayar rasa penasaranku
yang sempat membuatku berontak saat remaja.
Jogja
masih dengan suasana hujannya yang deras waktu itu. Hampir setiap sore hujan
tidak pernah absen disana. Sedangkan sore itu aku mengemasi beberapa pakaian
yang akan aku bawa pulang (sebut saja ini mudik) sebelum bulan Romadhon tiba.
Beberapa potong baju yang sekiranya bisa dikenakan saat dirumah – ya jujur
saja, pakaianku saat dirumah dan di Jogja sebagai seorang mahasiswa berbeda.
Dirumah aku berusaha menuntut diri lebih santun – aku masukkan kedalam ransel
kecil. Mengemasi barang membuat pikiranku melamun dan menghadirkan rasa geram
akan suasana yang membosankan belakangan ini (Baca : Depresi belum mendapat
pekerjaan setelah lulus). Aku ingin melakukan sesuatu diluar pekerjaan dunia
luar yang mulai gila ini. pikiranku berlari ke sebuah bangunan yang memiliki
reputasi tidak menyenangkan dikalangan orang awam. Bangunan Pesantren.
Kayaknya enak juga bulan puasa lari
ke pesantren. Apa
rasanya, ya? Aku penasaran bagaimana rasanya berinteraksi dengan anak
pesantren.
Ransel
kecil itu sudah mulai penuh dan tidak muat diisi baju. Aku menutupnya dengan
sedikit paksa. Tubuh yang mulai kedinginan diterpa angin lebat dari jendela
kamar kosku lunglai, ingin merebahkan diri diatas kasur segera. Ransel itu aku
letakkan disudut kamar dengan satu tas lainnya dan kardus oleh-oleh.
Aku
merebahkan tubuh diatas kasur dengan memegang ponsel. Rasa penasaranku kian
janggal. Aku memutuskan untuk searching blog dari google menggunakan kata kunci
‘ Pengalaman Puasa Romadhon di Pondok’. Beberapa diantaranya menuliskan
kesenangan, kenangan, keramaian, jadwal
mengaji, berjama’ah dll.
Detik
itu juga aku mengirim pesan lewat WhatsApp ke Ummik
Bulan
puasa besok aku pingin di pondok. Gimana ?
Iya,
nggak apa-apa. Kalau niatnya mondok, berangkatnya biasanya 10 hari sebelum 1
Ramadhan. Ngaji biasanya sudah dimulai, seperti ngaji mbah dulu.
Aku
sempat mengalami rasa ‘deg’ saat
membaca kalimat seminggu sebelum puasa aku harus berangkat. Keraguan mulai
menyergap. Duh, masak sebelum puasa sudah
dipondok? Mau ngapain disana?. Pikiranku saat meminta izin itu mmbayangkan
aku akan tinggal dipondok hanya dalam kurun waktu 15 hari dan tidak lebih.
Karena sepengetahuanku memang dalam waktu itu pondok ala romadhon selesai pada
umumnya. Aku menghilang dan tidak membalas pesan dari Ummik. Kebimbangan mulai
muncul.
Rasanya malu ketika orang bertanya
tentang hukum agama kita, tapi kita tidak tahu jawabannya. Rasanya menyakitkan
saat tidak bisa membenarkan keyakinan kita melawan orang lain karena kamu tidak
tahu dasar ilmunya. Aku ingin tahu tentang semua jawaban itu.
Malam
itu aku dilanda rasa yang tidak konsisten. Terkadang niat itu bulat, terkadang
bolong lagi seperti donat.
Paginya
aku menggendong ransel dan menenteng beberapa oleh-oleh untuk dibawa pulang. Masku sudah menunggu didepan kos untuk
mengantar ke stasiun Lempuyangan. Semangat untuk pulang selalu menggebu-nggebu.
Seperti ada banyak sesuatu yang menunggu disana. Walau sebenarnya tidak ada.
Kereta
berjalan dengan suara mesinnya yang kasar. Aku duduk dengan memasang
headset, mendengarkan lagu Swift dan
Raisa. Suasana kereta dan backsound lagu dikuping selalu berhasil membuatku
mengantuk.
Setengah
perjalanan dikereta, aku bangun dan merasa lapar. Apesnya aku tidak membawa
satu bungkus roti maupun aqua – berangkat dari kos sudah pelayon keteteran, pas naik kereta baru mau duduk kereta sudah
jalan – tenggorokan rasanya kering. Aku menyapu pandangan dari gerbong ujung
depan ke ujung belakang, mencari mas-mas penjual makanan. Tapi tidak ada. Mas
yang duduk disebelah saya tiba-tiba menurunkan carrier besarnya dan membongkar
untuk mengambil beberapa makanan yang sepertinya akan dibawa muncak gunung.
“Eh
mbaknya dah bangun. Permen nih mbak” Sambil nyodorin bungkus permen dan senyum ala anak gunung.
“eh?
Iya terimakasih” aku mengambil sebungkus permen dari plastik ditangannya
“ah
biasa aja mbak, makan-makan aja nggak usah malu”
“Masnya
mau naik gunung? Kemana?”
“Oh,
iya mbak. Udah dari kemaren-kemaren jalan naik turun gunung. Saya dari jakarta
ini mau ke semeru”
Aku
hanya balas mengangguk sambil senyum tipis menanggapinya. Sedikit ngantuk dan
masih males ngomong. Tapi mas itu bercerita sendiri panjang lebar tentang
senangnya naik gunung. Aku hanya mendengarnya geli dan agak ngantuk. Tapi
ternyata yang membawa tas carrier bukan hanya mas tersebut, kursi depan yang
saya duduki itu juga ramai membawa rekannya dan membawa tas carrier. Aku
melihat laki-laki berteman itu bergantian ke kamar mandi dengan menggunakan
sarung dan kaos pendek. Ternyata mereka sholat dalam kereta.
Tiba-tiba
ingatanku kembali ke pesantren.
Setibanya
dirumah aku masuk dengan rasa legah dan lelah bercampuran. Dihari itu juga aku
dan Ummik membahas tentang rencana yang aku buat tiba-tiba itu. hingga sampai
akhirnya diputuskan untuk berangkat ke pondok H-7 Ramadhan di Kediri. Negoisasi
itu tentunya tidak gampang. Perlu alasan-alasan yang benar dan berbukti.
Hari
itu aku berangkat menuju pondok di Kediri – yang sampai di kediri pun aku tidak
tahu aku sebenarnya akan mondok di pondok apa, dan daerah mana – sebelum masuk
di daerah Pondok, kita mampir mencari makan terdekat. Aku memutuskan bertanya
apa nama pondok yang akan aku tempati.
“ini
pondok namanya apa sih, Um?”
“hmm,
opo to jenenge, kok lali. Pondoknya
si anak om yg juga mondok romadhon wingi
iku, lho.”
“Lhoh?!
Eyalah ...” tiba-tiba pikiranku mengarah ke seseorang yang juga mondok disana.
Dulu dia yang menjaga sepupuhku itu saat mondok, namanya sebut saja Ahmad.
Aku
langsung menghubungi dia, dan mencoba tanya bagaimana aturan pondok saat
romadhon. Terutama boleh membawa handphone atau tidak. Yang ternyata sepertinya
tidak boleh.
Nanti
hp nya dititipno aku wae. Insyaallah aman
Gitu
yo? Oke lihat ntar lah. Aku yo sebenere males gowo hape
Oke.
Butuh dianterin masuk ke pondok putri, nggak? Nek iya ntar tak anter
Iya,
tolong anterin, ya. hehe. Ntar kalau udah sampek tak kabari
Oke.
Sesampainya
dipondok, cuaca mendung dan gelap gerimis kecil. Aku menemui Ahmad didepan
masjid, dan meminta tolong untuk mengantar masuk. Ngomong-ngomong soal Ahmad,
saat itu juga aku gemas melihat tingkahnya. Aku sudah tidak bertemu dia sekitar
hampir 8 tahun. Hanya saja kita masih tersambung lewat sosmed. Dia berubah
tidak seperti dulu. Lebih lugu (atau pura-pura lugu, entah), lebih grogi,
pendiam, dan tunduk. Aku hanya menahan tawa dan menahan tanganku sendiri untuk
tidak menepuk bahunya karena tingkah aneh itu. Menggelikan.
“Hei!” sapaku dengan senyum senang selayaknya
bertemu teman yang sangat lama.
Ahmad
hanya memasang wajah sedikit tegang dan senyum paksa ketakutan. Senyumku seketika
ingin sirna melihat tingkahnya yang seperti itu. kenapa manusia ini tingkahnya jadi aneh, gini?. Untungnya aku masih
bisa menahan sikapku itu, karena melihat di depan banyak santri, dan aku sadar
lokasi. Kalau nggak, sumpah aku nggak tahu mau ngoyak-ngoyak si Ahmad kayak
gimana.
Aku
melihatnya bingung, sedangkan aku ingin cepat masuk sembari mengangkat sebelah
tangan kananku diatas kepala karena
gerimis.
“Eh,
piye? Ndek mana kantor daftar pondok
putri? Mintak tolong anterin, yo?”
Aku
sedikit lupa tanggapan apa yang dikatakan. Aku langsung masuk mobil dan
memanggil Umikku untuk ikut masuk. Ahmad membawa aku dan Ummik ke sebuah
ruangan yang aku juga bingung itu ruangan apa. Katanya itu kantor umum. Saat
itu katanya jamaah sedang berlangsung, jadi nunggu diruangan itu dulu, dan
lagi-lagi aku melihat tingkahnya yang membuatku gemas. Seriously aku cuma bisa
nahan ketawa selama Ahmad ngobrol dengan Umikku diruang itu untuk menanyakan
hal seputar pondok. Pandanganku tidak luput sedikitpun dari kelakuannya.
Akhirnya
Umikku memutuskan ingin cepat masuk ke
pondok putri dan segera melakukan pendaftaran. Karena hari sudah sore dan cuaca
tidak mendukung, takut terlalu malam saat perjalanan pulang. Ahmad pun bergegas
dan mengantar ke ruang panggil untuk menyelesaikan pendaftaran dan tetek
bengeknya. Diruang itu juga aku masih melihatnya dengan menahan tawa.
Dibeberapa percakapan dia mengluarkan suara tawanya yang serak seperti Cakra
khan.
Setelah
itu semua berakhir, Ummik sudah mempercayai Ahmad untuk mengurus keperluanku.
Membeli kitab dan juga termasuk saat itu juga handphoneku mau dititipkan ke
Ahmad, takut nanti kalau ada panggilan kerja, Ahmad yang mengangkat telpon dan
bisa memberi tahu aku. Tapi aku tolak rencana itu. Sudahlah, intinya Ahmad
langsung jadi tangan kanan Ummik.
Aku
dan Ummik langsung balik ke mobil untuk mengambil barang-barang. Saat
kemas-kemas didalam mobil, hujan turun deras dengan seenaknya. Aku langsung
lemas. ‘Duh kok hujan gini’ cukup
lama aku dimobil menunggu hujan reda. Ahmad mengirim pesan WhatsApp
Nunggu
udane terang nopo nunggu payung tambahan?
(Nunggu
hujannya reda, atau nunggu payung tambahan?)
Aku
tersenyum geli melihat pesannya. Laki-laki ini terlalu cerdas untuk bersopan
santun diwaktu itu. aku meminta tolong Ahmad membawakan payung lagi ke mobil
dan ikut membantu membawakan barang sampai diruang panggil. Aku langsung
membawa masuk barangku dan masuk ke kamar diantar oleh mbak pengurus. Kemudian
aku sudah tidak tahu apa yang dibicarakan Ahmad dan Ummik setelah aku masuk
pondok.
Dipondok
aku langsung diserbu pertanyaan oleh mbak Nurul, pengurus yang mengatarkan aku.
“Lhoh,
mbak. Mbaknya apanya pak Ahmad’?”
Perasaanku
mendadak konyol dan sedikit humor mendengar pertanyaan itu, juga kata ‘pak’
yang disebut dalam nama si Ahmad. Aku mencoba menahan tawa dan hanya
menyunggingkan senyum kecil untuk menjawab.
“eh?
Nggak apa-apanya mbak. ng .. Cuma temen. Kebetulan aja tadi pas mau kesini
mintak tolong sama dia buat nganterin masuk” Tahanku sambil berusaha menjawab
jujur. Tapi kaypoh itu kian lanjut.
“oh,
temen. Temen sekolah, ya? kok bisa kenal?”
Mampus lau Vit diserbu wartawan
dadakan. Lagian seterkenal ini si Ahmad dipondok. Mau dijawab apa coba. Bohong
dosa, jujur bingung. Lha aku juga bingung mbak, kenapa bisa kenal sama si
Ahmad.
“Bukan.
Bukan temen sekolah. Beda kok mbak. (Beh, nggak terima aku disamakan satu
sekolah katanya sama si Ahmad. Tua amat) Cuma kenal aja dulu sama Mas Ahmad”
Antara sadar dan tidak, kenapa harus ada
kata mas didalam nama Ahmad. Duh. Nahan mual panggil nama Ahmad pakek
embel-embel Mas.
“Loh?
Pakek Mas kalau manggil, ciye ciye.. mbaknya”
Kan salah ngomong. Mampus mampus!
“hehee..
mbak ini ada-ada aja. Jangan gitu, ah. Cuma temen kok. Eh tapi kok mbak kenal
sama si Ahmad? Hayooo ..” aku mencoba mengalihkan topik, dan memutar balikkan
keadaan menjadi mbaknya yang aku jadikan bahan bullyan.
“ya
kenal mbak, orang biasanya rapat ketemu sama Pak Ahmad terus. Eh eh lagian ya,
mbak, Pak Ahmad tuh kalau lagi ada rapat gitu susah banget kalau disuruh
ngomong. Suaranya serak-serak gemetar gitu, rindih banget. Lha tadi pas ngomong
sama mbaknya aja kok lancar gitu, ya. aku jadi bingung. Pak Ahmad sampek bisa
ketawa gitu. Hmmm ciyeee”
Alah, serangan Bully balik.
Aku
menghabiskan waktu pertamaku dengan Mbak Nurul dikamar hanya berdua. Karena
memang dipondok semua santri banyak yang pulang saat ramadhan. Tidak wajib
untuk tinggal dipondok.
Disuatu
sore saat aku mulai mengaji, Mbak Nurul menitipkan aku ke salah satu Mbak kamar
sebelah, namanya Mbak Hidayah. Aku juga sudah sempat ngobrol dengan mbak
Hidayah sebelumnya, dan kita melangkahkan kaki keluar, duduk dan ngaji kitab
Shohih Muslim. Selesai mengaji, ada lagi mbak kamar belakang menyapa.
“Sinten
iku mbak Hid? Anak baru, ya?”
Aku
tersenyum dengan mbak yang menyapa tersebut, dan berjalan disamping mbak
Hidayah. Dengan entengnya mbak Hidayah
ngomong kalau aku adalah ‘sesuatu’nya si Ahmad.
“Garwone pak Ahmad niki” sambil melihat
ke arahku dan menyungging senyum lebar.
“walaah..
garwone pak Ahmad, tho?”
Hah?
Mbak ini pun juga kenal sama si Ahmad? Gimana ceritanya dia bisa se eksis ini
dipondok. Ya ampun, Mad Mad.
Karna
aku sudah lelah mendengar di ciye-ciye. Akhirnya aku memutuskan menjawab
pertanyaan tersebut dengan IYA.
“hahaa..
Iya mbak” aku menyeringai ke mbak tersebut, dan meringis kecut ke arah mbak
Hidayah. “Mbak Hidayah nih, dasar” cubitku pada lengan mbak Hidayah dengan
polesan senyum bercanda.
Hari
berlalu dan berlalu, seminggu sudah aku disini. Aku mulai merasa nyaman.
Meskipun kadang tiba-tiba kesedihan melanda karena sendirian dikamar, dan hanya
membaca novel yang tergeletak dikardus. Tapi aku juga harus bertrimakasih
banyak dengan si Ahmad, berkat eksistensinya dikalangan pondok putri akhirnya
mungkin mbak disekeliligku mengenalku dengan cara yang berbeda dan semua
diawali atas nama si Ahmad. Seminggu aku merasa bak artis. Dipanggil sana sini,
dan yang membuatku sedih ketika mereka memanggil dan aku tidak tahu nama
mereka. Namun lama-lama aku mengenal mereka meskipun tidak semua diawali jabat
tangan resmi, dan hanya tahu nama mereka karena mbak sekeliling menyebut
namanya. Akhirnya aku bisa membalas panggilan mereka. Haha. Senangnya.
Seminggu,
dua minggu, tiga minggu, empat minggu.. berlalu. Aku mempunyai banyak
teman-teman baik yang menyenangkan. Teman yang tidak pernah ada dalam benakku
sebelumnya. Mengajariku banyak tentang dunia kecil yang aku tidak pernah tahu.
Bertukar bahasa, cerita, tawa dan rasa.
Setelah
itu semua, Ahmad membuatku bergidik. Dia menolongku. Aku mungkin tetap menjadi
orang asing tanpa namanya yang mengantarku masuk. Kepintaran dan jasamu dikenal
banyak perempuan. Aku jadi takut sendiri. Bahkan aku mengerti banyak mbak-mbak
yang ‘men-Ciye-kan’ aku tidak lain karena ingin di ‘Ciye-ciye-kan’ balik dengan
kamu.
Mad.. Mad. Kurang apa
kalau sudah kayak gini. Tinggal pilih pun jadi. Tidak perlu susah cari
perempuan. Lha kok malah kena aku sendiri, Mad.
Sekian...
0 comments:
Post a Comment
Komentar