Cinta gadis miskin


             Pagi ini sedikit mendung. Matahari tidak begitu ingin menampakkan sinarnya. semoga tidak hujan. Pintaku dalam hati. Aku sudah dengan uniform putih abu-abu dan ransel hitam kumuh. Tidak membuang waktu lagi, aku mengambil sepatu di rak biru tua yang sudah usang dan berkarat. Tidak jauh beda dengan keadaan sepatuku. Hampir enam tahun belum terganti, angin pagi hari selalu menyapu bagian depan sepatu ini. kanan kiri pun memberi ruang angin. Lubang itu selalu memberi udara dingin disela-sela kakiku. sudahlah, yang penting prestasi. Semangatku sendiri. “Retno berangkat dulu buk. Assalamualaikum..” pamitku pada Ibuk dengan bersalaman.
”iya.. ati-ati nduk. Waalaikumsalam”.
            Jalan menuju sekolah lumayan jauh, kurang lebih duapuluh menit aku menempuhnya. Tapi apalah arti jarak jika niatnya baik. Semua pasti akan membuahkan hasil. Kampung selalu masih sepi sunyi, mungkin karna aku berangkat terlalu dini. Sesampainya disekolah pun aku masih melihat belum banyak murid-murid yang datang.
            Radit… hm, selalu berangkat pagi. Masih sama, ia selalu terlihat tampan. Aku selalu mengagumi Radit, tapi hanya dari jauh. Aku tidak perrnah mengenalnya, juga tidak berharap bisa berkenalan lebih dekat dengannya. Sudahlah aku hanya gadis miskin dan dia pangeran negri dongeng.
            “Radit!” sapa seorang cewek didepan kelas. Cewek itu, Donita. Ia juga selalu terlihat cantik, keramahannya membuat Donita lebih memancarkan inner beauty-nya menjadi wanita yang menawan dihadapan laki-laki. Sejenak aku menghentikan langkah. Entah apa yang kupikirkan. Aku selalu ingin tahu apa yang dilakukan Radit. “hey Don, udah dateng?” jawab Radit ramah
            “iya, aku kan selalu jadi orang pertama masuk kelas. Hehe”
            “pertama juga bantuin satpam buka gerbang sekolah”
            “yee.. nggak sepagi itu juga kali”
            Mereka selalu akrab di keadaan apapun. Tak jarang melihat mereka berdua kemana-mana tidak pernah lepas satu sama lain. Aku kira mereka lebih dari teman. Tapi, tidak ada fakta bicara bahwa mereka lebih dari teman.
            Aku meneruskan langkahku menuju kelas. Radit sudah menghilang dibalik pintu kelasnya sendiri bersama Donita. Kelasku hanya berjarak dua ruang dari kelas Radit. Mau tidak mau aku selalu melewati ruangan Radit. Sekilas aku memperhatikan mereka lagi diselah candela ruangan. Ia masih tertawa dengan Donita.  Apakah aku bisa sedekat itu dengan Radit, seperti Donita? Aku melewati kelas itu. aku merunduk dan memperhatikan penampilanku sendiri. Baju usang, tanpa make up, sepatu tidak layak pakai. Sudahlah, aku hanya wanita miskin. Aku menuju kelas.

***

            Bell pulang sekolah sudah terdengar. Diluar terlihat hujan sedikit deras. Untung bawa payung. Aku lekas bergegas pulang sebelum hujan lebih lebat. Diluar banyak murid lain yang berdiam diri menunggu hujan redah karna tidak membawa payung. Aku melihat salah satunya, adalah Radit. Entah angin apa yang membawaku berjalan menemui laki-laki itu.
            “mau barengan?” tawarku pada Radit. Tapi muka Radit terlihat bingung dan sedikit ragu menjawab tawaran dariku.
“maaf, siapa ya?” seperti yang kutahu, aku memang tidak pernah dilihat dan dikenal, apalagi didekati seperti yang lain.
            Aku mnyodorkan tanganku ke Radit “Retno” Radit menyalamiku balik meski masih dengan raut wajah penuh tanya. Aku coba menjawab kebingungannya “ aku dari kelas sebelah. IA-4”. Jelasku.
            “ooh, aku Radit” jawabnya dengan senyum. Dia ramah. Tidak punya sifat buruk sedikitpun dimataku. Ia selalu berwibawa.
            “aku tahu. Masih mau bareng?”
            “emang rumahmu dimana? Apa kita searah?”
            “aku ke jalan mawar. Apa searah?”
            “kebetulan iya. Boleh?”
            Aku hanya membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum.
            Badanku sedikit lebih pendek dari Radit. Akhirnya ia memegang alih payung itu ditangannya. Dia melindungiku. Seruku bangga dalam hati. Hujan perlahan-lahan terlihat semakin deras dan tidak meredah. Tapi aku tetap berjalan dengan santai bersama dengan Radit. Entah lah, aku hanya tidak ingin hari ini segera berlalu gitu saja. Sesekali Radit mempercepat langkahnya

“hujannya makin deras nih. Nggak mungkin jalan sampe rumah ngandelin payung. Cari teduhan dulu, ya?”. Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Didekat tempat aku dan Radit jalan, terlihat ada tempat duduk yang cukup nyaman untuk dibuat berteduh. Akhirnya kita berteduh.
“kamu nggak bawa motor? Tumben?” ucapku membuka pembicaraan.
“iya, kebetulan motor lagi dibengkel dari kemarin”
“oh, tadi berangkat sekolah jalan kaki?”
“enggak sih, bareng sama Dito” jawabnya singkat. Iya lah, mana mungkin dia jalan kaki.
“kamu nggak apa-apa pulang jalan kaki kayak gini?”
Radit tidak bisa diam. Ia terus berdiri melihat awan dan memastikan hujan segara redah “nggak papa. Apa salahnya jalan kaki?” ia tersenyum. Jawabannya membuatku semakin mengaguminya. “eh, udah mendingan nih. Jalan yuk. Keburu hujannya gede lagi”
Kenapa kamu terbru-buru. Kalau memang boleh, aku berdoa hujan ini turun lebih lama walaupun hari ini saja.  Tapi Radit sudah mengambil payung. Aku hanya bisa mengikutinya berjalan dibawah teduhan payung. Apa hanya hari ini aku bisa sedekat ini denganmu? Aku ingin lebih lama.
            Sepuluh menit sudah, Radit didepan rumahnya.
            “makasih ya, No. tumpangan payungnya” pamitnya sebelum masuk kerumah.
            “iya, sama-sama” balasku senyum “yaudah aku jalan pulang dulu ya” gantian pamit. Aku sedikit membungkukkan kepala dan melewati Radit dengan rumah negri dongengnya.

***
            Esok harinya disekolah, aku masih sepeti biasa. Dengan seragam yang pudar, dan sepatu yang tidak layak pakai. Berlenggang menempuh duapuluh menit perjalanan jalan kesekolah. Lagi-lagi aku melihat Radit yang gagah dengan wajah segarnya disekolah. Kali ini aku melihatnya diparkiran. Ia sendirian. dan sekarang, aku sedikit berani melihatnya sedikit lebih dekat. Radit melihatku, dia menghampiriku
            “hey, udah dateng juga?” sapanya tersenyum. Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Aku selalu merasa bisu dihadapan Radit. Dia hanya sebatas itu, aku tahu. Kita tidak mungkin dekat. aku tahu Radit adalah pangeran negri dongeng. Mungkin aku sudah menjadi Cinderella. Kemarin. Ya, kemarin, saat hujan. Cerita itu sudah selesai. Anggap saja kemarin itu pertemuan dan pernikahan bahagia. Itu bagian ceritanya, sekarang adalah realitanya. Aku sudah kembali kedunia gadis miskin dengan gaun sobek disana sini
Tiba-tiba Donita datang mengagetkan. Ia terlihat cantik, dan memang selalu cantik. Hmh, aku mendengus. Retno, sudahlah! kau hanya gadis miskin. Aku berjalan  menjauh. Meneruskan langkahku menuju kelas. Dari belakangku, terdengar mereka tertawa seperti biasa. Tertawa yang sangat dekat. ah sudahlah, aku hanya gadis miskin.
            Hari ini setidaknya aku sudah berpikir tidak akan ada alasan lagi untuk memberinya tumpangan payung pada Radit. Cuaca hari ini sangat cerah, dan ia sudah dengan motor mewah kesayangannya. Tapi untuk kali ini kepulangan Radit di parkiran itu terlihat buruk. Aku melihat Radit rasanya sesak.  Donita melingkarkan tangannya ke perut Radit. Kenapa harus ada rasa sesak? Sebelum kemarin, aku biasa saja melihat Radit dengnan Donita. Apakah hanya karna rasa bahagiaku yang sebentar kemarin? Apa aku sudah terlalu mulai mengharapkannya lebih dari yang tidak kubayangkan?
            Radit sudah menemukan Putrinya. Sudahlah, aku hanya gadis yang benar-benar miskin. Namun aku tetap menghargai hujan saat itu dengan pangeran dongeng. Trimakasih. Aku akan berjalan seperti biasa saja. Mengamatimu dari jauh, melihatmu tertawa. Biarlah seperti itu, menurutku lebih baik dan tidak begitu menyaitkan.   

0 comments:

Post a Comment

Komentar