Dewasamu Mengakhiri Cerita

Ia berjalan mendekatiku dengan senyum manisnya yang sedikit manja “hey, sayang”. Sapanya mencium keningku.
            “hmm, sayang masih bau keringet ni. Habis main basket juga. Jorok” balasku meledek bercanda. Dendi terkekeh melihatku menutup hidung.
            “ya ampun sayang, masa sama pacar sendiri gitu sih” ia semakin mendekatkan badannya padaku dan merangkulku rapat-rapat dengan baju basket merahnya yang sangat basah oleh keringat.
            “jorok ah kamu. aku marah ni kalo kamu nggak mau lepasin aku” jawabku kesal. Keringat diwajahnya masih sangat segar mengucur dipelipis dan sela-sela rambutnya. Akhirnya ia melepas pelukan itu dengan melihatku gemas.
            “hm, dia cemberut. Maaf deh. Pulang yuk, habis itu kita cari makan” ajaknya menggandeng tanganku keluar dari arena lapangan basket. Ia melambai kearah teman-temannya pamit.
            Dengan mobilnya, ia menyalakan Ac dan music.  Terdengar lagu dari Go Go dolls berjudul Iris. Kita memang suka lagu itu.
Keringat diwajahnya mulai mengering. Dendi terlihat lebih segar dan sangat tampan. Hidung mancungnya, dagu ovalnya, dan badan six-packnya selalu ingin membuatku lama-lama didekatnya.
            Rumahnya sepi seperti biasa. Dendi anak tunggal. Orangtuanya bekerja pagi sampai larut malam. Tidak heran, dia selalu menyibukkan diri dengan berbagai macam hal, termasuk hobby basketnya daripada harus menghabiskan waktunya sendirian dirumah kosong yang ditempati pembantu-pembantunya.
            “sayang, aku tinggal mandi dulu ya.” Ia berlalu meningglkanku sendiri diruang tamu.
Tentang Dendi, ia bukan typical cowok yang berlebihan. Dia hanya laki-laki sederhana. Meskipun memang tidak pernah mendapat perhatian orangtua, ia masih bisa menjadi anak yang cukup bijak. Ia tidak pernah mengeluhkan kurang perhatian, ia selalu mangatakan, usaha orangtuanya tidak patut dibalas dengan keluhan-keluhan cengeng. Usaha mereka ia anggap sebagai perhatian yang lebih dari cukup. Ia harus tau diri, uang yang orangtuanya dapatkan semata-mata hanya ingin membuat Dendi tidak menjadi orang yang susah. Tapi dendi sendiri tidak begitu ingin dimudahkan, ia selalu bermain pada aturan yang ada, tidak semena-mena. Yah, Dendi orang yang dewasa. Meskipun kadang kedewasaannya itu seringkali membuatku kurang nyaman.
“udah selesai?” sapaku pada Dendi yang sudah terlihat santai dengan kaos abstrak dan celana jeansnya.
“udah, yuk cari makan. Mau makan dimana?”
“ikutin kamu aja deh. Kamu pengennya kemana?”
“jangan gitu dong. Kamu tu kebiasaan kayak gitu. Jadi orang tu yang punya pilihan gitu lho”
Aku menghela nafas, ada sedikit kesinggungan dihatiku dengan ucapan kedewsaan-nya barusan “yaudah, kita makan di nasi pecel Pak Beno aja ya? gimana”
“yaudah ayuk”.
Kita keluar dari rumah dan berlalu menuju warung pak Beno. Langgananku dan Dendi. Makan siang ini menyenangkan. Selalu menyenangkan memeng saat bersama dendi
“yah, aku lupa bilang nih. sayurnya aku kasih ke kamu ya?”
Dendi mengacak nasi pecelnya dengan sayur-sayur yang menumpuk. Aku sibuk meanaruh sayurku ke piring Dendi “kamu nih kebiasaan. Dicoba deh dikit-dikit. Enak kok”
“nggak ah. Kayak kambing aja makan hijau-hijauan”
            Makan siang berjalan manis.
            Sepulangnya, Dendi mengantarku kerumah. Dia langsung pamit pulang “ati-ati, Den”.
            “iya sayang, aku pulang dulu ya” ia mendaratkan kecupan keningnya dan kembali dibalik dikemudi mobil dan berlalu pulang.
***


            Selamat pagi Dendi Mahesa : )
            Selalu seperti itu ucapan selamat pagiku pada Dendi lewat pesan singkat. Tapi, seperti biasa juga ia tidak pernah membalas. Entah apa alasannya. Ketika aku bertanya tentang ini, ia selalu mengalihkan topic dan memilih untuk mengabaikan pertanyaanku.
Sikapnya seperti itu sudah merasukinya sejak tiga bulan terakhir. Dan lama-lama sifatnya semakin mendarah daging. Menjadi kebiasaan yang tidak pernah aku suka. Tapi aku hanya bisa diam dan tetap menjalani semua seperti biasa. Seolah tidak ada masalah yang sedang membebani hubungan ini.

            sore harinya ia memberiku kabar, balasan selamat pagiku
            “Selamat sore Dwi Shinta Jihan.. “ selalu seperti itu.
            Sore juga, Den..
            Pesan itu aku balas belum lebih dari satu menit saat sms Dendi masuk. Tapi dia sudah tidak berbasa-basi  lagi dengan sms balasanku. Hilang tidak ada balasan apapun sampai larut malam.
Aku memang tidak pernah berpikir negative tentang Dendi. Tapi aku juga punya rasa khawatir yang datang setiap hari. Entahlah, terkadang pikiranku menggambarkan dia sakit, kecapekan, dan tragedy-tragedi buruk lainnya saat tidak ada kabar.
Sampai terkadang aku sudah penuh kesal, emosi, dan mulai mendesaknya dengan seribu kata-kataku. Dan aku paling benci saat seperti itu. dimana aku marah, dia tidak menenangkan aku sedikitpun, dan malah berbalik marah padaku. Seolah dia benar karna kesibukannya, dan aku selalu salah karna tidak mengrti keadaannya.
            “Sayang”. Pesan masuk dari Dendi. Aku melihat waktu pengiriman pesan itu, sudah satu jam yang lalu. Aku membalasnnya
            “iya sayang, kamu lagi apa? Maaf yah tadi aku lihat TV, Hp-nya lagi dikamar :) “
            Satu jam..
            Dua jam..
            Tiga jam..
            Empat jam..
            Tidak ada balasan masuk sama sekali. Jam sudah menunjukkan Pkl.22.00. aku enggan menunggu balasan pesannya. Aku coba menelpon nomer Dendi.
            1 call.. tersambung..dan, “maaf nomer yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan ini, cobalah beberapa saat lagi”. aku menghela nafas besar dan mendengus kesal. Sudahlah.
            Esok paginya, aku tidak mengirimkan pesan satupun ke nomer Dendi. Sengaja. Aku hanya ingin tahu seperti apa paniknya dia ketika tidak mendengar kabarku untuk satu hari saja. Dan sengajanya lagi, Handphone aku tinggal dirumah. Aku pergi ke kampus tanpa handphone. And… Sangat berharap, saat pulang, beribu-ribu pesan membanjiri ponselku dan menanyakan aku sedang apa, dimana dan sms berisi perhatian lainnya. Kebetulan hari ini kuliah sedang padat. Aku pulang sore hari. Sebenarnya aku cemas sendiri, karna tidak mengirim pesan ke Dendi pagi ini.
            Setibanya dirumah, aku berlari menuju kamar dan nge-check ponselku yang tergeletak diatas kasur. Aku mengambil dengan penuh harap, aku memencet tombol kunci, dan melihat layar handphone-ku. Hanya terlihat wallpaper cartoon Boo  yang menggemaskan. Tidak ada satu pun pesan masuk. aku tiba-tiba lemas dengan pikiranku yang mulai ngelantur dan tidak-tidak. Sebenarnya aku sudah tidak tahan. Rasanya ingin sekali mengirim pesan singkat ke Dendi. Tapi…? Nggak! Aku nggak boleh lemah. Biar aku lihat semua reaksi Dendi hari ini.
            Hampir larut malam. Handphone tidak menampakkan satu pesan pun dari Dendi. Ingin rasanya tertidur lelap dan melupakan permainanku ini. tapi tidak bisa, ah! Dendi.. apa seperti ini orang dewasa bersikap?
            Tidak lama handphone yang ku genggam bergetar. Aku melihat layar.
Pesan baru,
dari Catherine.
Hm, aku terlalu berharap. Aku bahkan enggan memperdulikan pesan Cathrine. Tanpa membuka pesannya,  aku menekan tombol close. Dendi.. Sms plisss… harapku cemas.
            Pesan baru
            Dendi ; akhirnya
            “Sayang, maaf ya tadi banyak banget kerjaan. Ini juga baru pulang footsal. Dadakan sih diajakin temen-temen”
            Aku sama sekali tidak tersentuh dengan isi pesan itu. apa dia tidak merasa bersalah sedikitpun?
Entahlah, kata maaf itu tidak sedikitpun menggugah hatiku untuk menjalin hubungan baik dengan Dendi malam ini. Aku tidak bisa terus mengalah.
            “nggak apa-apa kok. Yasudah. Aku udah ngantuk nih. Kamu baik-baik ya. Jangan tidur larut malam. Love you..”
            Dengan sms-ku barusan, aku berharap ia akan merasa bersalah karna telah mengabaikanku selama ini. balasan-balasan harapanku kurang lebih seperti “maaf ya, aku jarang banget perhatiin kamu, sayang. Aku harap kamu tetep dukung aku. Aku butuh kamu. Aku janji tidak akan bikin kamu sedih ataupun marah. Aku sayang kamu”

            Pesan baru ; Dendi
            “iya sayang, kamu tidur dulu ya. Aku masih mau lihat bola”
            Sesingkat itu balasan dari kesabaranku. Aku sudah tidak tahan lagi. se-acuh itu aku dibuatnya. Apa dia tidak mengerti rasanya dianggap seperti bayangan? Wujudnya ada tapi tidak nampak. Baiklah, hari ini cukup.
            Hari-hari berikutnya  masih sama seperti itu lagi, dan seperti itu terus. Sampai pada akhirnya aku sudah dititik luapan emosiku yang sudah terpendam. Sore itu Dendi mengajakku keluar makan. Untuk acara makan seperti ini pun sngat jarang, bisa dihitung mungkin tiga bulan sekali.
            “kemarin pagi kemana, Den?” tanyaku tenang
            “nggak kemana-kemana kok sayang, kenapa?”
            “oh, nggak papa kok. Nanya aja. kirain sibuk”
            “nggak juga sih”
            “kamu kemarin nyariin aku nggak?” tanyaku dengan datar. Dendi menyibukkan diri dengan steaknya.
            “nyariin? kenapa emangnya? Kok tanyanya gitu?” jawab Dendi polos tak berdosa. Seakan-akan semua itu masalah yang sangat biasa dan tidak perlu dibahas. Aku tahu, memang ini biasa. Tapi hanya untuk kalangan dewasa berlebihan. Tidak untukku, aku hanya wanita dewasa dibatas normal
            “terus, kemarin kemarinnya lagi kemana? Em.. sebelum kemarennya lagi juga kemana?” tanyaku panjang dan sedikit membingungkan Dendi.
            “ngomong apaan sih kamu?”
            “kamu pernah khawatir nggak sih sama aku kalo aku nggak ngabarin kamu?”
            “iya iyalah shin, aku khawatir.  Kamu kenapa?”
            “kok kamu nggak pernah nyariin aku?” lanjutku dengan senyum ringan dengan wajahku yang melemas karna emosi yang tertahan.
            “sayang, kan aku lagi banyak kegiatan. Jadi nggak pernah sempet sms kamu. kamu ngerti dong”
            Skak! Kata-kata itu seperti air keras yang diguyur ketubuhku. Aku hanya diam mendengarnya bicara. Tidak meneruskan. Aku ingin marah, tapi aku selalu nggak bisa. Aku hanya bisa diam dan menghela nafas. Helaan itu sebisa mungkin aku sembunyikan, aku menarik dengan pelan.
            “apa tidak ada lima menit saja untuk  menanyakan kabarku? Atau mungkin dihari liburmu mungkin, untuk mengucapkan selamat pagi buat aku?” aku masih berbicara dengan nada rendah yang terjaga. Tapi pita suaraku mulai bergetar.
Dendi sepertinya sedang merasa terpojok. Ia meneruskan omongannya “Shin, kamu tuh kenapa sih hari ini. kamu  kan tahu kesibukan aku apa aja. apa sih yang kamu khawatirkan tentang aku. Aku juga nggak bertingkah aneh-aneh. Aku tahu diri aku punya pacar. Dewasa dikit dong. Jangan kayak anak kecil lah kamu itu! ngertiin dong posisi aku”

PLAK! PLAK! PLAK! Omongan itu seperti tamparan tangan raksasa. Perih dan membuatku lemas. Aku hanya bisa merunduk dan terdiam. pipiku sudah terbasahi butiran-butirann air mata yang setiap detik jatuh. Samapai kapan kamu merasa benar? Apa kamu tidak bisa mengganti posisimu sebagai aku, sedetik saja. Aku masih diam. Kali ini aku menatap Dendi dengan muka yang sangat marah. Tapi ia terlihat mnghela nafas panjang. Dia pun diam seketika, saat melihatku menangis.
Aku menatap mata Dendi “emang bener semua yang kamu bilang, Den. Makasih kamu udah nyadarin aku. Aku memang banyak salah. Karna aku hanya orang biasa yang tidak selamanya harus mengikuti aturan-aturan bodoh orang lain. Sampai aku lupa, aku bahkan tidak pernah membuat satu aturan pun untuk orang lain yang harus mereka ngerti! Tapi bodohnya aku, kenapa aku harus mengikuti aturan orang-orang? Sekarang aku sadar, aku masih perlu banyak belajar menjadi dewasa yang seperti kau ajarkan. Maaf Den, aku hanya anak kecil, dan aku belum bisa jadi bagian yang menyenangkan untuk kamu.  Semoga kamu dapetin orang yang kamu harapkan. Orang yang benar-benar dewasa tanpa butuh perhatiandarimu seikitpun”
Dendi hanya diam melihatku berkaca-kaca dan berulang kali mengusap airmataku sendiri. Aku berlalu meninggalkan Dendi. Ia tidak mengejarku. Yasudahlah, aku juga sudah tidak berharap ia mengejarku lagi. kalau memang dia sadar, semoga aku adalah pelajaran yang paling berharga baginya. Sebaliknya, biar lah Dendi menjadi pelajarnku. Pelajaran pendewasaan yang ia maksud dengan baik.
Semoga masih tetap ada wanita yang selalu mengingatkanmu makan, dan tidak tidur terlaru larut. Karna aku tahu, tubuhmu sangat mudah lemah. Aku masih mencintaimu…

0 comments:

Post a Comment

Komentar