Cerita si Bodoh


Ini hanya cerita tentang orang bodoh.
Kalau ini dijabarkan dalam banyak sisi semua bisa merasakan apa yang terjadi pada diri si Bodoh yang ingin menjadi seorang yang optimis. Berobsesi menjadi sesuatu yang berharga dan dilihat banyak orang bahwa dia mampu berubah menjadi seseorang yang jauh lebih pintar dari yang dikira orang sekitarnya. Tapi nyatanya tidak semudah yang dipikirkan si Bodoh. Seperti ini cerita hidupnya

Ia hanya berjalan menjalani hidupnya dengan apa adanya. Apa yang harus ia lakukan akan ia lakukan. Apa yang membuatnya relax ia akan relax. Apa yang membuatnya tenang ia akan pergi menenangkan dirinya sendiri ditempat keramatnya. Hanya ia yang tau dimana ia harus berdiam diri dan merenung ; betapa ia setiap hari melakukan kesalahan yang tidak pernah ia fikirkan. Bahkan hal yang ia buat dengan hati-hati dan diawali oleh niat yang kuat bahwa ia bisa, nyata-nyatanya tak sepadan dengan apa yang ia dapat. Selalu begitu. Selalu.

Suatu hari ia mencoba sesuatu yang teman-temannya coba. Sebenarnya ia ingin mencoba daridulu. Tapi ia sadar bahwa ia belum punya landasan syarat untuk melangkah ke percobaannya itu. Lambat laun ia setiap hari mencoba mencari sesuatu yang bisa memenuhi syaratnya untuk menuju tujuannya itu. That’s way she got. Dipercobaan pertamanya pun ia tak luput sedikitpun dari masalah setiap hari. Selalu ada. Selalu.

Hingga beberapa bulan berjalan, ia sudah lepas perjanjian pada percobaannya. Si Bodoh merasa dirinya mendapat sesuatu yang berharga dipercobaan yang samasekali tidak dipandang oranglain keren. Tapi diawal si Bodoh memang nekat dengan misi ‘apapun yang dikatakan orang, akan kulewati. Ini pilihanku, dan ini niatku” dari situ si Bodoh berjalan , yang jelas ia berjalan dengan kebodohannya.

Tak terlalu lama beberapa bulan kemudian, ia nekat mencoba langsung berlari ketujuan awalnya. Awalnya ia sangat-sangat ragu. Karena percobaan pertamanya itu bukan seperti yang disyaratkan sepenuhnya. Tapi seorang sahabat si Bodoh mengantarnya untuk memaksa mencoba. Paper pun keluar, dan si Bodoh menunggu kabar. Ia tak seorang atau dua orang yang mencoba. Dari berpuluh orang yang hanya akan diterima beberapa.

Tahap tujuan awal, si Bodoh gagal. Meskipun ia sadar ia tidak akan diterima tapi saat semua diumumkan ia tetap mempunyai rasa kecewa yang mendalam. Sahabat si Bodoh pun tidak diterima. Mereka berdua berjalan. Sahabat si Bodoh ini bisa dibilang pintar, walau kadang bagi si Bodoh kepintaranya kadang menjengkelkan. Tapi si Bodoh bangga dengan pertemanannya dengan si Pintar. Si pintar mengarahkan, dan menegaskan apa keputusan yang akan dibuat si Bodoh.

Tujuan tahap kedua, Si bodoh gagal lagi. Meskipun lagi ia sadar bahwa ia tidak akan diterima, tapi ia masih merasa kecewa. Kekecawaan yang ini terasa lipatganda. Karena teman perjalanannya sudah diterima. Sedangkan ia, masih belum mendapat tujuannya. Ia bahagia si Pintar mendapatkan itu. Tapi tidak bisa menutup kekecewaannya. Si Pintar tak membiarkan si Bodoh berjalan sendiri. Ia terus menemani si Bodoh mencari peluang.

Tahap tujuan ketiga, si Bodoh diterima. Ia tidak bahagia. Ia hanya terkejut saat mendapat pengumuman dipapan yang menuliskan namanya disana. Seketika ia merasa deg-degan dihatinya. Si Bodoh mendaftar tahap ketiga ini dalam keadaan sakit. Ia sedang tidak sehat. Si Bodoh hamper pasrah pada perjuangannya untuk tujuan ini. Jika kalian tahu, si bodoh selalu berdo’a diselah usahanya. ‘jika memang Allah mengizinkanku diterima, aku pasti akan berangkat. Jika Allah merasa aku belum pantas diterima, aku lebih baik tidak diterima”

Saat ia mendapat panggilan menghadap. Ia masih dalam keadaan yang sangat lemas dengan wajah pucat. Badan yang sangat panas, kepala yang snantiasa berat dan sangat sakit, kaki yang tergulai lemas tapi dipkasanya berjalan, mata yang melipiskan air mata ditepi pelupuknya karena demam, kedinginan yang menggerayap tubuhnya ia tutupi dengan mengepal tangan dalam saku jas hitamnya.

Menghadap tinggalah menghadap. Esoknya ia diterima. Si Bodoh sedikit senang. Karena perjuangannya melawan sakit demi menerobos tujuannya tidak sia-sia. Namun ditengah perjalanan ia mulai merasa takut. Takut akan kebodohannya yang tidak pernah tahu seketika terjadi tanpa diduga.

Hingga sampai ia pada tujuannya disini. Ia masih merasa diam tidak kemana-mana. Ia tidak percaya. Bagaimana bisa sesuatu percobaan yang tidak memnuhi syarat itu membawanya ia sampai pada tujuan yang ia mau. Si Bodoh bersyukur. Yang ada dipikirannya hanya “Allah yang mengatur. Doaku didengar. Tujuanku terwujud. Artinya Allah mempercayaiku”

Bukan bahagia saat tujuannya didapat. Kembali lagi pada satu roda lain. Roda truck ataupun tank tentara. Besar dan lajunya terasa lambat dan keras. Ia berjalan ditujuan yang ia impikan. Ia sudah percaya dan berpositif thinking. Ia memulai niatnya dengan menata sangat apik. Tapi, niat yang ia tinggal dihati berlainan dengan semua yang disekitarnya.

Untuk kesekian lamanya. Ia menembus  tujuan ini dengan beribu cobaan karena kebodohannya lagi. Si Bodoh rasanya ingin berlalu. Ingin memukul dinding keras-keras. “kenapa saat aku mencoba berhati-hati dan niat untuk mencoba memperbaiki semuanya ini tidak pernah bisa. Kenapa?! AH bodoh!”

Ia semakin terkutuk pada sekelilingnya yang mempunyai bibir tebal. Setebal cabai rawit yang dimakan mentah-mentah. Si Bodoh benar-benar membutuhkan seseorang untuk bercerita. Tapi si Bodoh tidak pernah bisa percaya pada sekelilingnya. Selama ini sesutau yang membuatnya tenang hanya pada sebuah kertas dan pena. Dari banyak sisi ; si Bodoh jika bercerita ke orang lain ia akan membebankan orang itu. Point nya si Bodoh sering mendengar orang-orang sekelilingnya mengolok-ngolok orang yang tidak begitu smart. Menanyakan ‘dia itu gimana sih, kan sudah diajarin. Masa gitu aja nggak ngerti!’. Si Bodoh sebenarnya tidak bisa mendengar ucapan itu dari sekelilingnya. Tapi ia tidak mau membela dan mengucilkan. Ia diam dan mengikuti arus bicara saja.

Itu yang membuat si Bodoh tidak percaya. Karena orang yang menurut si Bodoh lebih baik dari dia saja dikatakan dibelakang. Ia tidak ingin dirinya dikatakan dibelakang seperti itu karena kebodohannya. Si Bodoh hanya penyendiri yang setiap hari bertanya-tanya. ‘kenapa mereka seperti itu? Aku tau mereka pasti lelah menghadapi orang Bodoh. Tidakkah mereka mau mengajari lebih sabar lagi. Kalau mereka tau, orang yang mereka katakana bodoh sebenarnya pun sakit karena ia berusaha tapi selalu tertimpa tangga. Tertimpa tangga tanpa pertolongan. Yang ada hanya cacian. Sakitkah itu menurut kalian? ; kalian yang merasa pintar dan tidak sabar”