Refleksi Menjadi Seorang Murid Terjun di Dunia Pendidikan
Dulu semasa sekolah menengah pertama, aku tidak pernah benar-benar mengerti apa yang harus dipelajari. Dibangku sekolah aku hanya menulis, mendengarkan, dan sangat tidak suka dengan pelajaran yang terlalu banyak istilah. Seperti biologi, kimia, fisika dan hampir semua mata pelajaran pengetahuan Alam
Kalo ilmu sosial? Itu pun aku tidak memahami. Apa sebenarnya geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi. Yang aku tahu hanyalah Geografi menjelaskan dimana letak negara, dan berapa °LS dan LU. Ekonomi yang ku ingat hanyalah 'sekilas' materi tentang laba-rugi. Kimia dibenakku sekarang hanya terlintas istilah atom. Fisika dibenakku hanya rumus Volume menghitung cepat dan besarnya gaya atau jarak. V = ... [Rumusnya pun tidak ingat lagi].
Disisi lain, aku suka antropologi, tapi apakah hasilnya keren? Tentu saja, tidak! Antropologiku saat UNAS hancur sehancur-hancurnya. Aku selamat dengan nilai pas-pas an. Minimal nilai UN kalau tidak salah ingat 5.00, maka nilaiku hanya 5,5
Bahasa? Aku sangat menyukai segala bahasa. Semua terdengar khas dan menyenangkan. Tapi apa yang terjadi dengan nilai bahasa Arab dan bahasa Inggris di mata pelajaran sekolah? Hasilnya hanya berupa nilai yang tidak bisa dibanggakan sama sekali. Ujian Sekolah nilai bahasaku hancur dan menuai ledekan Ibu, yang notabanenya beliau guru bahasa Arab. Jadi bagaimana hal itu bisa terjadi?
Dulu sekolah bagiku adalah momentum menyenangkan karna banyak teman, bermain, bercanda, ngobrol, dan seperti anak yang "tak tahu diri" lainnya. Karna ketidak tahuan diri yang akhirnya sedikit banyak menimbulkan masalah. Sekolah Madrasah Tsanawiyah Mts/SMP adalah sebuah masa, dimana aku tidak pernah mau merasa salah. Bahwa aku adalah satu-satunya maha benar dan lainnya hanyalah omong kosong.
Disekolah memang ada banyak Guru dengan bermacam-macam karakternya masing-masing. Dan dulu aku adalah salah satu anak yang sering menyalahkan bagaimana cara mengajar seorang guru dengan dalih "Nggak suka pelajaran ini, gurunya nggak asik". Terkutuklah murid macam aku ini. Padahal di saat pelajaran bahasa berlangsung, gurunya flat, sedikit membosankan, kurang aktif, hanya menerangkan bagian materi-materi, membacanya, menyuruh mentranslate, disitu aku adalah termasuk murid ambisius. Murid lain di kelas hanya hening, diserang rasa ngantuk, dan malas. Sedangkan aku sekuat tenaga mencoba bertahan melawan kantuk demi keingin tahuanku, seberapa jauh aku memahami pelajaran Bahasa tersebut.
Hingga akhirnya, ketika aku mencintai pelajaran itu tanpa alasan (Gurunya nggak asik!)waktu UAS ataupun ulangan harian, me always tried my best. Aku mengerjakan semua murni dari ingatan yang nempel, tanpa mencontoh, dan menguji kemampuan untuk di evaluasi setelahnya.
Hal ini membuatku tau dan sadar, bahwa tidak semua murid menyukai mata pelajaran sekolah. Ada yang memang menyukai dan menguasai semua, ada yang bahkan tidak menyukai sekolah sama sekali. Disaat sekarang saya menjadi Guru, saya sedikit bingung harus mendiamkan saja, atau tetap mendidik perilaku untuk menanam rasa menghargai. Diluar fakta, bahwa memang sekolah mempunyai aturan dan mereka harus belajar berbagai macam pelajarna, mereka suka atau tidak dengan pelajaran, tapi etika kepada sesama manusia menurutku harus tetap ada. Bukan hanya guru yang dihormati, tapi bagaimana mereka harusnya tau bahwa manusia jika tidak didengarkan dia akan kecewa, jika tidak dihargai itu menyakiti. Definisi sekolah buatku adalah mendidik karakter, bonus ilmu dan materi.
Kalo ilmu sosial? Itu pun aku tidak memahami. Apa sebenarnya geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi. Yang aku tahu hanyalah Geografi menjelaskan dimana letak negara, dan berapa °LS dan LU. Ekonomi yang ku ingat hanyalah 'sekilas' materi tentang laba-rugi. Kimia dibenakku sekarang hanya terlintas istilah atom. Fisika dibenakku hanya rumus Volume menghitung cepat dan besarnya gaya atau jarak. V = ... [Rumusnya pun tidak ingat lagi].
Disisi lain, aku suka antropologi, tapi apakah hasilnya keren? Tentu saja, tidak! Antropologiku saat UNAS hancur sehancur-hancurnya. Aku selamat dengan nilai pas-pas an. Minimal nilai UN kalau tidak salah ingat 5.00, maka nilaiku hanya 5,5
Bahasa? Aku sangat menyukai segala bahasa. Semua terdengar khas dan menyenangkan. Tapi apa yang terjadi dengan nilai bahasa Arab dan bahasa Inggris di mata pelajaran sekolah? Hasilnya hanya berupa nilai yang tidak bisa dibanggakan sama sekali. Ujian Sekolah nilai bahasaku hancur dan menuai ledekan Ibu, yang notabanenya beliau guru bahasa Arab. Jadi bagaimana hal itu bisa terjadi?
Dulu sekolah bagiku adalah momentum menyenangkan karna banyak teman, bermain, bercanda, ngobrol, dan seperti anak yang "tak tahu diri" lainnya. Karna ketidak tahuan diri yang akhirnya sedikit banyak menimbulkan masalah. Sekolah Madrasah Tsanawiyah Mts/SMP adalah sebuah masa, dimana aku tidak pernah mau merasa salah. Bahwa aku adalah satu-satunya maha benar dan lainnya hanyalah omong kosong.
Disekolah memang ada banyak Guru dengan bermacam-macam karakternya masing-masing. Dan dulu aku adalah salah satu anak yang sering menyalahkan bagaimana cara mengajar seorang guru dengan dalih "Nggak suka pelajaran ini, gurunya nggak asik". Terkutuklah murid macam aku ini. Padahal di saat pelajaran bahasa berlangsung, gurunya flat, sedikit membosankan, kurang aktif, hanya menerangkan bagian materi-materi, membacanya, menyuruh mentranslate, disitu aku adalah termasuk murid ambisius. Murid lain di kelas hanya hening, diserang rasa ngantuk, dan malas. Sedangkan aku sekuat tenaga mencoba bertahan melawan kantuk demi keingin tahuanku, seberapa jauh aku memahami pelajaran Bahasa tersebut.
Hingga akhirnya, ketika aku mencintai pelajaran itu tanpa alasan (Gurunya nggak asik!)waktu UAS ataupun ulangan harian, me always tried my best. Aku mengerjakan semua murni dari ingatan yang nempel, tanpa mencontoh, dan menguji kemampuan untuk di evaluasi setelahnya.
Hal ini membuatku tau dan sadar, bahwa tidak semua murid menyukai mata pelajaran sekolah. Ada yang memang menyukai dan menguasai semua, ada yang bahkan tidak menyukai sekolah sama sekali. Disaat sekarang saya menjadi Guru, saya sedikit bingung harus mendiamkan saja, atau tetap mendidik perilaku untuk menanam rasa menghargai. Diluar fakta, bahwa memang sekolah mempunyai aturan dan mereka harus belajar berbagai macam pelajarna, mereka suka atau tidak dengan pelajaran, tapi etika kepada sesama manusia menurutku harus tetap ada. Bukan hanya guru yang dihormati, tapi bagaimana mereka harusnya tau bahwa manusia jika tidak didengarkan dia akan kecewa, jika tidak dihargai itu menyakiti. Definisi sekolah buatku adalah mendidik karakter, bonus ilmu dan materi.